Shalat merupakan salah satu media yang mampu mengembangkan daya pikir seseorang menjadi luas tak terbatas. Artinya, seseorang yang mampu menyelami makna di balik rahasia shalat itu, cara pandangnya tidak lagi sempit. Ia sanggup menjamah hal-hal yang tidak bisa dinalar oleh kiri.
Sebagai contoh, dalam konteks shalat lima waktu pernahkah otak kita menerawang dengan cukup jauh mengenai makna dibalik ditetapkannya waktu-waktu tertentu dalam menegakkan shalat? Dan, kenapa kita hanya shalat menjelang terbitnya fajar, saat tergelincir matahari (shalat Zhuhur), jauh sebelum dan sesudah matahari tenggelam, dan seterusnya
Nyaris pikiran kita tidak mampu menjamah lebih jauh tentang alasan Allah Swt. Menetapkan waktu-waktu tertentu dalam shalat. Itulah sebabnya, penting bagi kita untuk memahami pesan Rasulullah Saw. Kepada sekelompok orang Yahudi ketika beliau ditanya tentang waktu-waktu ditetapkannya shalat.
Dalam sebuah riwayat. Ali bin Abu Thalib Ra. Mengisahkan kejadian itu. Sewaktu Rasulullah Saw, duduk bersama para sahabat Muhajirin Dan Anshar, secara tiba-tiba, datanglah satu rombongan orang Yahudi. Lalu berkata kepada beliau,”Coba terangkan kepada kami tentang lima waktu yang diwajibkan oleh Allah Swt.”
Dengan cukupp detail , Rasulullah Saw. Bersabda,”Shalat Zhuhur ketika tergelincir matahari. Maka, bertasbihlah segala sesuatu kepada Allah Swt. Shalat Ashar saat Nabi Adam As. Memakan buah khuldi. Shalat Maghrib ketika Allah Swt. Menerima taubat Nabi Adam As. Sedangkan, Shalat Isya’ merupakan shalat dikerjakan oleh para Rasul sebelumku. Sementara itu, shalat subuh dilakukan sebelum terbit matahari terbit, terbitnya di antara dua tanduk setan, dan di sanalah sujudnya orang kafir.”
Mendengar penjelasan Rasulullah Saw, tersebut rombongan orang Yahudi bertanya kepada beliau,”Padahal apa yang akan diperoleh orang yang shalat?”
Rasulullah Saw. Bersabda,”Jagalah waktu-waktu shalat, terutama shalat pertengahan, yakni shalat Zhuhur , karena saat itu neraka jahanam sedang menyala. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat ketika itu akan di haramkan api neraka jahanam pada hari kiamat atas mereka. Adapun shalat Ashar merupakan saat Nabi Adam As, memakan buah Khuldi. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat Ashar akan diampuni dosa mereka seperti bayi baru lahir. Sedangkan, shalat Maghrib ketika Allah Swt, menerima taubat Nabi Adam As. Oleh karena itu seorang mukmin yang menunaikan shalat Maghrib dengan ikhlas, kemudian ia berdoa (meminta sesuatu kepada-Nya), Dia akan mengabulkan permintaanya. Sementara itu, seorang mukmin yang berjalan pada malam hari yang gelap gulita guna menunaikan shalat Isya’ berjamaah, maka Allah Swt, mengharamkan atasnya karena nyala api neraka dan di berikan kepadanya cahaya untuk menyebrangi Titian Sirath. Adapun seorang mukmin yang mengerjakan shalat subuh selama 40 hari secara berjamaah, Allah Swt. Memberikan kepadanya dua kebebasan, yaitu dibebaskan dari api neraka dan nifaq.”
Setelah mengkaji penjelasan Rasulullah Saw, tentang rahasia (dibalik waktu-waktu) shalat itu, penting bagi kita untuk memperbaiki shalat. Sebab, shalat yang baik pasti berefek baik terhadap perilaku sekaligus membuat kecerdasan otak akan berkembang pesat. Demikian juga bagi ibu hamil, shalat yang dilakukan oleh seorang ibu hamil akan memiliki dampak terhadap janin yang dikandungnya, termasuk dalam pengembangan terhadap otak kanannya.
Selain itu, penelitian modern juga menemukan bahwa di dalam otak manusia terdapat titik Tuhan atau god spot. Pusat spiritual ini terpasang di antara saraf dalam cuping-cuping temporal otak. Jika manusia mampu mengasa titik Tuhan itu, niscaya akan menemukan keteduhan, kesejukan, dan kebahagian yang hakiki dalam hidup.
Nah, dengan cara apa ibu hamil mengembangkan titik Tuhan yang ada dalam otak?
Tentunya, salah satunya ialah dengan shalat. Ya, shalat merupakan media yang mampu mengasah kecerdasan spiritual. Semakin khusyuk atau penuh dengan penghayatan yang kuat shalat yang dikerjakan, maka kecerdasan spiritual yang berpusat di titik Tuhan berkembang secara otomatis, termasuk janin yang ada di dalam kandungan.
Hal tersebut merupakan suatu keniscayaan. Sebab, kita yang memiliki kecerdasan spiritual senantiasa mendapatkan kedamaian di dalam diri yang menyebar ke sekeliling sekaligus memberikan rasa kasih kepada sesame. Itu seperti matahari yang selalu memancarkan sinarnya tanpa balas jasa.
Lantas, bagaimana cara menunaikan shalat yang baik agar ibu hamil bisa memberikan kecerdasan terhadap anak yang di kandungnya? Untuk mengetahui jawabannya silakan simak beberapa cara berikut:
Shalat Dengan Khusyuk
Saat shalat, ibu hamil dituntut fokus (kosentrasi). Focus berarti mengarahkan pandangan mata batin kepada Allah Swt., sehingga mampu menghadirkan Dzat yang disembah. Itulah inti khusyuk.
Dalam Futuhat Makkiyah, Ibnu Arabi menerangkan betapa banyak orang yang tidak mengalami pengalaman apa pun dari shalat itu, kecuali lelah. Padahal orang lain yang mendapat berkah berkat dialog keilahiahan yang mendasar, meskipun tampak hanya memenuhi kewajiban agamanya yang biasa. Dengan demikian, shalat yang tidak khusyuk takkan mendapatkan apapun (pengalaman spiritual) yang jadi inti dari shalat itu sendiri. Jika kondisi seperti ini terjadi pada (shalat) ibu hamil, maka bagaimana mungkin shalat menjadi media yang efektif dalam mengembangkan imajinasi dan daya ledak otak kanan yang kuat terhadap diri dan janin yang dikandungnya?
Tentunya, ketidakkhusyukan menunjukkan kualitas shalat belum mencapai kesempurnaan. Sehingga ibu hamil tidak mendapatkan apa-apa, kecuali rasa lelah. Oleh karena itu, penting bagi ibu hamil untuk belajar khusyuk saat shalat.
Allah Swt, berfirman:
“Sesungguhnya, beruntunglah orang-orang yang beriman,(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS.al-Mu’minuun [23]: 1-2).
Dengan demikian, khusyuk menjadi factor penting dalam melaksanakan shalat, khusyuk membawa hati hati dan diri pelakunya pada kenyataan hakiki bahwa Allah Swt, adalah sang pencipta yang sangat berkuasa atas makhluk-Nya. Kesadaran itu bisa menyampaikan doa maupun keinginan dan menjadi keberuntungan bagi pelakunya. Oleh karena itu, hendaklah kita melaksanakan shalat secara khusyuk, terutama bagi seorang istri yang sedang hamil. Dalam hal ini, shalat yang dikerjakan secara khusyuk dapat membantu mereka memperoleh anak yang shalih dan shalihah.
Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, shalat ibadah yang sebenarnya ialah shalat dan ibadah hati. Bila hati lalai dan tidak khusyuk, maka shalat jasmaniah akan berantakan. Oleh karena itu, guna mencapai titik kesempurnaan, mutlak dibutuhkan konsentrasi hati. Ketika hati sudah condong kepada Allah Swt., berarti shalat kita tegakkan benar-benar menjadi tiang agama.
Ikhlas
Ikhlas merupakan “ruh” segala aktivitas hidup manusia. Demikian juga dalam konteks shalat, kita juga harus ikhlas menegakkannya; tidak ada paksaan ataupun tuntutan. Itulah sebabnya, dalam pengertian yang global, ikhlas berarti tidak ada tuntutan hati guna meminta balasan, pujian, dan sanjungan, kecuali balasan semata dari Allah Swt. Jika seorang ibu yang sedang hamil sanggup berjalan di medan ini, yakni medan ikhlas, maka seluruh aktivitasnya bernilai tinggi di hadapan-Nya. Sama halnya ketika shalat, tanpa adanya nilai keikhlasan, mustahil shalat bisa berdampak terhadap kecerdasan spiritual anak yang dikandungnya. Bahkan, boleh jadi, shalat yang tidak dikerjakan dengan ikhlas dapat menjadi penghambat peningkatan kecerdasan bagi sang janin.
Dengan demikian, aspek keikhlasan memang cukup sulit direalisasikan. Banyak orang yang gagal shalat lantaran kurangnya keikhlasan itu sendiri. Bisa jadi, diantara kita ada yang bertanya,”Kenapa keikhlasan begitu sulit dilakukan, terutama dalam shalat ?”Jawabnya, ikhlas merupakan suatu kondisi hati yang tidak terpautkan oleh pengharapan-pengharapan selain Allah Swt., termasuk pujian dan sanjungan orang lain.
DR. Muhammad bin Hasan as-Syarif dalam bukunya Manajemen Hati (2002) menerangkan bahwa ikhlas itu bertingkat-tingkat; sebagiannya lebih tinggi dari pada sebagian lainnya. Diantaranya, ada batin manusia yang lebih agung ketimbang aspek lahiriahnya, maka keikhlasannya itu terwujudkan dengan adanya kesamaan batin dan lahir, tetapi derajat tinggi darinya hanya bisa diraih apabila yang terdapat dalam batin itu lebih besar.
Terhadap orang-orang yang tidak ikhlas, Allah Swt. Menegaskan dalam firman-Nya berikut:
“Sesungguhnya, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan, kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali, orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan, serta berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan agama mereka karena Allah. Maka, mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman, dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar (QS.an-Nisaa’ [4]: 145-146).
Komitmen
Shalat termasuk salah satu ibadah yang sangat menentukan. Artinya, jika shalat kita baik, maka baik pula seluruh amal perbuatan kita. Oleh karena itu,mkita harus mempunyai komitmen dalam menegakkan shalat. Komitmen bermakna memiliki kesungguhan atau keseriusan. Dan, ada semacam penghayatan terhadap ibadah yang dijalankan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra. Bahwa Rasulullah Saw. Bersabda,”Allah Swt. Berfirman ,’Wahai Anak Adam, bersungguh-sungguhlah beribadah Kepada-Ku, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kecukupan dan menanggung kefakiranmu. Jika kamu tidak melakukan itu, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesibukan dan tidak menanggung kefakiranmu.”
Dengan demikian, keseriusan dalam menegakkan shalat harus kita lakukan. Sebab, kita memang diciptakan guna mengabdi kepada Allah Swt, dan beribadah kepada-Nya. Komitmen untuk benar-benar beribadah kepada-Nya lewat media shalat meniscayakan kesungguhan menyembah-Nya. Hati dan pikiran benar-benar focus dan tidak mengingat sesuatu selain-Nya.
Itulah komitmen yang harus kita pegang. Dengan komitmen itu, tentu shalat yang kita tegakkan semakin hari semakin mengalami perkembangan yang baik. Ketika shalat kita sudah mengalami peningkatan, secara otomatis titik Tuhan yang ada dalam otak mengalami peningkatan yang signifikan juga.
Istiqamah
Shalat harus istiqamahatau konsisten. Keistiqamahan tidak hanya diukur secara kuantitatif, melainkan juga di ukur dari kualitas shalat itu sendiri. Semakin kita istiqamah menegakkan shalat, semakin berkembang pula titik Tuhan yang ada dalam otak.
Istiqamah itu meniscayakan ketetapan hati agar terus-menerus melakukan shalat sekhusyuk mungkin. Allah Swt, berfirman:
“Dan, bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (QS.al-Jin [72]: 16).
Dengan demikian, penting bagi kita untuk menjaga konsistensi shalat dalam kondisi apa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar