Seiring serangan budaya Barat ke negeri-negeri muslim, termasuk negeri ini maka di satu sisi kaum hawa tak mau kalah perannya di sektor publlik dengan kaum pria. Sementara di sisi yang lain, dengan alasan tuntutan ekonomi, seorang suami terpaksa membiarkan istrinya bekerja di sektor publik.
Fenomena di atas adalah fakta yang tak bisa dipungkiri yang memang tengah terjadi di sekitar kita. Padahal Islam telah menempat posisi laki-perempuan dan atau suami-isteri, sesuai dengan porsinya, yang ini tidak bisa digeser atau ditukar. Seperti kewajiban mencari nafkah telah dibebankan oleh Allah atas laki-laki, tidak atas wanita (QS al-Baqarah [2]: 233; QS at-Thalaq: 6). Sebaliknya, perintah untuk mendidik anak ditujukan kepada ayah dan ibu (QS at-Tahrim: 6). Karena Allah telah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga (QS an-Nisa’ [4]: 34) maka terbentuklah pembagian peran sosial antara laki-laki dan wanita.
Wanita lebih mengutamakan tugasnya di rumah tangga, sementara laki-laki mencari nafkah di luar rumah. Laki-laki menjadi pemimpin yang dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah akan nasib orang yang dipimpinnya, sedangkan wanita akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah mengenai ketaatannya kepada laki-laki (suami) yang menjadi pemimpinnya.
Di sektor publik, laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama, terutama dalam urusan dakwah dan amar makruf nahi mungkar (QS Ali Imran [3]: 104 dan 110; QS at-Taubah [9]: 71). Tidak menjadi masalah pada saat wanita tidak ikut memutuskan sesuatu yang menyangkut urusan dirinya, karena kebutuhan-kebutuhan hidupnya memang terpenuhi dengan baik.
Kalaupun kebutuhannya tidak dipenuhi oleh suami atau walinya, ia akan mengingatkan pemimpinnya itu agar takut kepada Allah karena hak-haknya tidak dipenuhi. Begitulah seharusnya, bukan bertukar posisi. Suami adalah tulang punggung, dan istri tetaplah tulang rusuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar